Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Kamis, 25 Februari 2010

MISSI PROFETIK DAN SINERGI KEBANGSAAN

Oleh: Cipto Sembodo

Sebentar keluar dari kontroversi pidana kawin kontrak dan nikah sirri, mari kita bershalawat untuk Nabi SAW. Allohumma shalli'ala Muhammad, yang sedang kita peringati hari kelahiran beliau hari ini. Memperingati lahirnya Nabi Muhammad SAW. (Maulud Nabi) memang telah merupakan keharusan budaya yang mentradisi di kalangan kaum muslimin di seantero jagad bumi ini. Di negara kita, keharusan ini membudaya secara nasional dengan menjadikan hari tersebut sebagai libur nasional, yang tahun ini jatuh pada jum’at, 26, February 2010. Bahkaan di Yogyakarta, momen ini menjadi puncak perayaan Tradisi Sekaten yanfg diadakan selam satu bulan penuh.
Meski hanya sebuah tradisi, peringatan Maulud Nabi yang juga bertepatan dengan hari wafatnya --12 Rabi’ul Awal—adalah great festival atau perayaan penting dalam kalender ritual umat Islam. Ini dapat dipahami, sebab figur Muhammad dalam konteks Islam diyakini sebagai pembawa rahmat bagi alam semesta, rahmatan lil’alamin. Lebih dari itu, kehadirannya juga dipandang sebagai simbol kemengangan monoteisme atas dualisme Persia dan Trinitas Nasrani, juga kapitalisme paganis Arabia masa lalu. Tradisi maulid yang tidak pernah dirayakan oleh Nabi sendiri, sahabat maupun Tabi’in, muncul atas ide cemerlang Shalahuddin al-Ayyubi. Semula peryaan serupa merupakan tradisi Nasrani yuang menjadikan milad Isa al-Masih sebagai Kalender ritual mereka.
Merayakan peringatan Maulud Nabi ini akan memberikan hikmah yang bermakna apabila kita mengerti benar eksistensi Nabi besar Muhammad SAW. Tidak sebatas dalam merekonstruksi struktur teologi monoteis masyarakat Arabia ketika itu, tetapi juga memahami kesusksesan beliau sebagai sosok pemimpin dan pejuang garda depan (avant garde) dalam revolusi sosial. Melakukan “reformasi etika“ kapitalistik-jahiliyah menjadi beretika sosial manusiawi dan bermartabat madani dalam segala bidang. Makna inilah sesungguhnya yang ingin disegarkan kembali oleh Shalahuddin al-Ayyubi kepada umat Islam pada waktu itu dari keterjebkannya dalam kompleksitas di bawah tirani kekuasaan dan hegemoni asing abad 12 M.
Dalam konteks kekinian kita di negeri ini sekarang, tradisi di atas akan dapat lebih bermakna apabila kita mampu membumikan semangat kehaliran Nabi Muhammad SAW. itu di tengah-tengah kehidupan beragama dan kebangsaan yang aktual. Lihatlah persoalan apa yang orang-orang setiap hari memincangkannya di warung-warung kopi,di sawah-sawah petani, di kebun, di pasar dan di jalanan, dalam angkutan. Korupsi para pejabat negara dan penyelanggara lembaga publik, mega skandal. Di tingkat akar rumput, mengglobalnya kemiskinan hingga penjualan anak manusia yang menyesakkan dada, sampai kriminalitas yang mengerikan juga terampasanya keadilan atas nama pengadilan dan sistem hukum. Itulah kondisi kebangsaan dan sosial kita.
Maka sudah seharusnya, perayaan maulud tidak berhenti pada batas-batas formal lahiriahnya saja. Tapi harus jadi tradisi merefleksi untuk aksi. Sehingga mampu secara kontekstual menembus dinding-dinding kesadaran kita yang bermuara pada semangat dan tindakan reformasi sosial, baik secara individu maupun kolektif bermasyarakat dari belenggu stigma sejarah maupun hegemoni ideologis yang akut.
Kesadaran dan tindakan reformatif ini perlu disejarahkan ke dalam benak tradisi dan peradaban dari generasi ke generasi selanjutnya. Sehingga dengan demikian, semangat luhur yang dikandungnya tidak akan mengerut dengan pemahaman “berhenti“ pada format-format lokal ketika makna tersebut dibumikan dalam bahasa tradisi dan hari lubut semata.
Tentu saja hal ini sangat penting bagi bangsa kita yang tengah membangun. Merekonstruksi tatanan sosial baru yang lebih egaliter dan demokratis menuju masyarakat madani Indonesia yang bersih dan berwibawa. Mulud Nabi kali ini haruslah dijadikan sebagai “momentum penyadaran dan insrospeksi diri“, agar dalam mengabdi kepada Alloh SWT, dan berbuat terbaik untuk diri pribadi, keluarga,masyarakat bangsa dan negara“meneladani“ semangat missi profetik Muhammad SAW.

Reformasi Etika Bumi: Sinergi Etika profetik dan clean govermenent
Tema besar yang dibawakan Islam bersama Nabi Muhammad SAW adalah suatu equilibrium sosial kesetaraan sosial yang universal. Di sini dapat dipahami mengapa Nabi SAW, seperti nabi-nabi yang lain, lahir di tengah pusaran krisis sosial dan moralitas peradaban dan budaya besar masyarakat yang dekaden –jahiliyah.
Secara nyata memang disadari bahwa terjadinya immoralitas cultural, patologi sosial maupun disparitas ekonomi, tirani politik dan sebagainya semua itu bertali-temali dengan simpul keyakinan (aqidah) atau ideology paganis yang dianut masyarakat Arabia ketika itu. Untuk konteks modern, ambruknya Sosialisme/komunisme merupakan suatu contoh actual, betapa ideology yang bermula dari premis “anti tuhan” itu berubah menjadi “anti manusia” (Syafi'i Maarif, 1992). Di Indonesia, rezim Orde Baru adalah satu contoh yang layak dikedepankan, bahwa nihilnya moralitas keadaban terbukti rapuh menyangga eksistensi sejarah keindonesiaan.
Fenomena devisit moralitas inilah yang ingin direformasi Nabi SAW menuju suatu orde sosial yang bermoral, berbudaya dan bermartabat manusia universal. Nabi sendiri secara aklamasi digelari title shiddiq, amanah, tabligh dan fathonah. Inilah yang dalam penyelanggaraan public governance dibutuhkan sebagai modal kejujuran, keterbukaan atau transparansi dan perilaku bebas dari kolusi, korupsi dan nepotisme.
Dalam konteks hidup bernegara yang lebih luas dan mendalam, di sinilah dapat dilihat titik sinergis etika profetik dan norma ketatanegaraan yang bersih. (clean govermenent). Artinya, etika agama sudah semahrusnya mengontrol dan mengkontribusikan sikap dan spirit kritisisme etika sosial serta moralitas esoteris, sementara negara melalui supremasi otoritas legalnya merupakan sarana untuk menerima dan melaksanakan fasilits moral etika kemusiaan tersebut.
Namun haruslah disadari bahwa disinilah sebenarnya terletak agenda besar dan berbagai catatan atas realitas keberagamaan kita di tengah masyarakat. Bahwa sebagai basis kehidupan bernegara, agama merupakan spirit etis secara integral. Oleh karena itu, sejauh mana agama kehilangan daya serapnya terhadap masalah-masalah dunia, dan petunjuk Tuhan tidak mampu kita sekulerkan (bumikan), maka sesungguhnyalah kita sedangag menganut sekulerisme, meskipun kita berteriak lantang menolaknya. Pembumian ajaran-ajaran Tuhan tentu saja menjadi nisacaya, kalau kita tidak ingin dikatakan sekuleris. Agama yang kita pahami (pemahaman agama, hukuma gama kita) selama ini kalau mau jujur adalahh pemahaman agama yang sekuleristis, dalam pengertian tidak mampu meresapi dan menyahuti msalah-masalah sekuler yang menyejarah, masalah spasio-temporal. Maka tidak heran jika kemudian terjadi ketidak sesuaian (dispcrepancy) antara keberagamaan dan pilihan tingkah laku hidup, baik dalam politik, ekonomi,sosial, budaya dan sebagainya.
Missi proferis mereformasi etika Bumi nilah seharusnya makna yang diendapakan di dalam perilaku sadar dan alam bawahsadar genrasi kita. Demikian juga sebagai tema besar hadari dan lahirnya Muhammad SAW., falsafah sosial itulah yang semestinya menghablur bersama rasa keagamaan kita.