Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Senin, 02 Agustus 2010

PROBLEMATIKA PEMBAHARUAN HUKUM ISLAM

Oleh: Cipto Sembodo

Artikel lain yang terkait:

Asal-usul Pembaharuan Hukum Islam
Sekularisasi Hukum Islam


Problematika Hukum
Berbagai pembaharuan hukum Islam sebenarnya tidak pernah lepas dari problematika yang menyertainya. Pembaharuan hukum Islam, misalnya, selalu berkait dengan soal epistemology –dan selanjutnya metode-- dari sumber mana dan dengan cara bagaimanakah hukum Islam (harus) diperbaharui. Pembaharuan hukum Islam juga memerlukan institusi (social dan politik) dan individu yang terlibat di dalamnya. Demikian juga, pembaharuan juga pada akhirnya berhubungan dengan persoalan “otoritas” dalam hukum Islam; “siapakah yang berhak memberikan atau membuat aturan hukum?” serta bagaimana hukum dalam Islam harus diterapkan di dalam system negara bangsa yang baru terbentuk pasca kolonialisasi negara-negara non-muslim?.

Kecenderungan dan Trend
Secara umum, sebagaimana akan kita lihat pada pembahasan di bawah ini, dapat dapat di ditarik suatu garis besar yang melatar-belakangi upaya pembaharuan hukum Islam di  Negara-negara Muslim. Begitu pula, kecenderungan-kecenderungan yang lazim dilakukan dalam proses penggunaan methode reformasi dapat dipetakan. Akan tetapi problem solving atas berbagai persoalan berkait dengan pembaharuan tersebut mengambil beragam bentuk, pendekatan, waktu serta cara yang berbeda-beda dari satu Negeri muslim ke Negara muslim yang lain.

Turki lebih awal melakukan pembaharuan hukumnya dengan cara mengimpor begitu saja hukum-hukum Eropa (Perancis, Italia dan German)--di luar hukum keluarga— daripada, misalnya, melakukan re-interpretasi  terhadap hukum-hukum Islam yang ada. Meskipun langkah ini juga diikuti oleh negeri-negeri Muslim lain namun Mesir, misalnya, telah berusaha menyusun hukum baru dengan membuat sintesa dari hukum Islam dan hukum Eropa.

Perbedaan-perbedaan tersebut dapat dipahami mengingat latar belakang spesifik yang dihadapi oleh masing-masing negeri muslim juga berbeda. Pertemuan Islam dengan Barat modern juga terjadi pada intensitas dan cara yang berbeda-beda. Kebanyakan Negeri-negeri muslim ternyata mengalami kontak langsung dengan Barat melalui penjajahan negerara-negara Eropa. Dan mereka merasakan adanya kebutuhan terhadap hukum baru bersamaan dengan kemerdekaan negara yang mereka raih. Tentu saja ini berbeda dengan Turki, atau Arab Saudi, Iran dan Yaman yang tidak pernah mendasarkan pembaharuannya karena tekanan penjajahan.

Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka tradisi pembaharuan dalam hukum Islam sesungguhnya memiliki sejarah yang amat panjang. Akar-akar genealogisnya dapat ditarik ke belakang hingga masa ke-emasan Islam itu sendiri ketika hukum Islam menegaskan supremasinya. Bahkan Islam itu sendiri adalah hadir sebagai pembaharu masyarakat jahiliyah Arabia.

Dari segi metodologi pembaruan hukum Islam juga dilakukan dalam berbagai bentuk. Menurut John L. Esposito, seringkali pembaharuan dilakukan melalui Istislah dan Adat atau ‘Urf.    Keduanya dipandang paling sesuai, karena memberikan kesempatan yang luas untuk berijtihad  dan dengan jelas menekankan pada tujuan hukum Islam itu sendiri, yaitu keadilan dan kemaslahatan. Di samping itu, talfiq dan takhayyur juga sering dipergunakan, misalnya untuk menyusun undang-undang yang berkaitan dengan hukum Islam. Hal ini dilakukan lebih sering dengan pertimbangan praktis dan pragmatis.  Semua metode tersebut, selama masih dalam bingkai madzhab-madzhab fiqh Islam tradisional, maka Tahir  Mahmood menyebutnya sebagai pembaharuan hukum Islam yang bersifat intra-doctinal .

Metode lain yang dipergunakan dalam pembaharuan adalah extra-doctrinal reform . Dalam hal ini pembahaurn dilakukan dengan menyusun interpretasi yang sama sekali baru dan menghasilkan kesimpulan yang berbeda, bahkan bertentangan dengan ketentuan fiqh tradisional. Contohnya adalah larangan poligami di Tunisia, hukum perkawinan IslamTurki dan wasiat wajibah.

Masih ada lagi, sebagaimana dituliskan oleh Tahir Mahmood, upaya pembaharuan juga dilakukan melalui peraturan-peraturan pemerintah (regulatory reform). Meskipun dengan cara seperti ini pembaharuan tidak langsung dikenakan terhadap aturan fiqh, tetapi akibat yang dihasilkannya (semangatnya) sama, yaitu misalnya, mempersulit poligami dan perceraian.