Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Jumat, 29 Januari 2010

Deprivatisasi Syari'ah

Oleh: Cipto Sembodo

Artikel Terkait Lainnya
Teori & Praktek Negara Islam
Integrasi Studi Sosial dan Hukum Islam
Pusat Tesis/Disertasi Islamic Studies
Download Artikel ini

Deprivatisasi Syari'ah
Artikel ini mendiskusikan deprivatisasi Syariah, sebuah fenomena yang terjadi pada pemikiran, bentuk dan praktek hukum Islam menyusul diterapkannya sistem kehidupan demokrasi kebangsaan (nation state) di dunia Muslim. Fokus bahasannya diarahkan untuk mengamati fenomena apa yang disebut deprivatisasi Syari'ah. Deprivatisasi Syari'ah secara sederhana berarti ter-lepasnya Syari’ah dari kontrol dan kekuasaan ulama –yang secara tradisional dianggap sebagai penjaga gawang dan pembawa aspirasi hukum Islam ummat Muhammad. Sebab di dalam negara modern, kontrol, kekuasaan, formulasi hingga praktek hukum Islam berada di bawah tangan para legislator wakil rakyat, para politisi dan negara (state) berikut organ beserta birokrasinya.

Maka tak mengherankan jika deprivatisasi Syari’ah dari tangan ulama ini disinyalir menjadi tema besar dari implikasi pergumulan entitas Islam dan demokrasi kebangsaan terhadap pemikiran dan praktek hukum Islam modern. Sebenarnya memang disadari bahwa penetrasi sistem kehidupan demokrasi bernegara modern model Eropa atau Barat pada umumnya ke Dunia Islam membawa berbagai ketegangan di tengah kehidupan umat Islam. Pertanyaannya, adalah mengapa terjadi ketegangan dalam proses pergumulan itu? Apa saja sesungguhnya yang terjadi serta bagaimana proses sejarah tersebut berlangsung? Itulah beberapa hal penting yang coba diulas dalam artikel deprivatisasi Syari'ah.

Mengapa Deprivatisasi Syari'ah?
Ada banyak jawaban untuk pertanyaan yang satu ini. Tapi yang paling jelas adalah adanya fakta dan realitas politik "negara kebangsaan" (nation state) pasca berakhirnya kolonialisme fisik Barat atas negara-negara Muslim.

Konsep teritorial dar al-Islam dan dar al-harb yang bersifat transnasional berdasarkan kesamaan agama dalam teori dan praktek khilafah Islam berbeda secara mendasar dengan konsep nation state yang menekankan kebersamaan etnis, kultur, bahasa dan wilayah teritori. Perbedaan mendasar ini telah menciptakan ketegangan historis dan konseptual.

Masyarakat politik nation-states bersatu mengabaikan garis-garis persamaan religius, menekankan kesetiaan kebangsaan ketimbang persaudaraan agama tertentu, egalitarianisme kedaulatan rakyat ketimbang kedaulatan Tuhan, mengakui persamaan hak laki-laki dan perempuan. Semua itu tidak selalu sesuai dengan konsep dan praktek fiqh Islam tradisional maupun petunjuk yang dapat dipahami dari Syari’ah itu sendiri. Tampaknya salah satu konsekuensi penting dari gagasan nation-states adalah liberalisasi pemikiran dan praktek politik dari kontrol Syari’ah dalam pengertian tradisional.

Dalam pengertian apapun fenomena ini adalah bagian dari politik Syari'ah. Dalam tulisan ini diusulkan bahwa Syari'ah ketika bertemu dengan politik negara bangsa seharusnya menjadi publik Syariah. Apa artinya? Ringkasnya, Syari'ah kini tak lagi menjadi wacana para ulama saja. Tapi siapapun bisa mendiskusikannya, mengobrolkannya, berhak menilainya, dan sebagainya. Tempatnyapun bisa di mana saja, mulai dari warung kopi, angkringan, lesehan hingga di Kentucky dan Mc Donnald sekalipun.

Pada konteks inilah sesungguhnya Syari'ah yang berasal dari Tuhan itu kini penerapannya diuji secara publik. Jika benar ia mengusung kemaslahatan, biarkanlah hal ini diuji dengan apapun namanya. Ada indeks, ada statistik hingga ukuran kualitatif dan sebagainya. Inilah apa yang mungkin dapat disebut publik syari'ah atau deprivatisasi syari'ah dalam pengertian yang masih sangat awal. Sebagai catatan, tulisan berikut hanyalah pengantar untuk memahami latar sejarah hingga terjadinya deprivatisasi itu. Selengkapnya klik di sini
Clict here for English or Indonesian