Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Sabtu, 26 Juni 2010

STATUS ANAK ANGKAT DI BERBAGAI NEGARA MUSLIM: BEBERAPA PEMBAHARUAN

E-mailPaysU

Download Artikel Ini

Oleh: Cipto Sembodo

A. Keberanjakan Vertikal
Status anak angkat atau adopsi di negara-negara muslim memang tidak seragam. Dibandingkan dengan ketentuan fiqh, terdapat beberapa keberanjakan yang cukup signifikan. Paling tidak ada tiga tingkat keberanjakan dalam hal status anak angkat/adopsi. Pertama, keberanjakan tentang prosedur adopsi. Kedua, keberanjakan pada tingkat status yang diakibatkannya. Ketiga, keberanjakan pada tingkat implikasi atau pengaruhnya kepada ketentuan hukum yang terkait lainnya, baik dalam hak kewarisan maupun dalam perkawinan.

Dalam tata cara atau prosedur, keberanjakan ini terlihat pada ditetapkannya beberapa syarat tertentu dalam proses adopsi. Antara lain ditetapkan bahwa pihak yang diadopsi adalah seorang anak. Juga ditentukan selisih usia antara orang yang mengadopsi dengan anak yang akan diadopsi dan harus disyahkan melalui sidang pengadilan. Lebih dari itu adalah diperolehnya nama (nasab) baru bagi anak hasil adopsi sesuai orang tua angkatnya.  Hal-hal ini adalah fenomena baru dan tidak pernah disebutkan sebelumnya dalam ketentuan-ketentuan fiqh. Lebih-lebih tentang perolehan nama (nasab) baru bagi anak hasil adopsi, adalah menentang ketentuan nash; kecuali dalam kondisi anak yang majhul an-nasab (unknown parentage).

Keberanjakan yang lebih signifikan terjadi pada implikasinya terhadap hukum perkawinan dan hak kewarisan. Dikatakan lebih signifikan, karena berakibat merubah suatu sistem hukum yang telah lama mapan dan berjalan di tengah masyarakat. Sebagaimana diketahui, Islam tidak memberikan tempat sama sekali kepada anak/orang tua angkat untuk saling mewarisi. Adopsi juga tidak pernah menyebabkan  halangan dalam sebuah perkawinan.

Aturan-aturan baru tentang pengangkatan anak ternyata menyatakan sebaliknya. Dapat ditemukan dalam ketentuan baru bahwa misalnya anak angkat harus memperoleh bagian yang sama --dalam hak dan kewajiban—dengan anak kandung terhadap orang tua (angkat) mereka atau anak/orang tua angkat bisa menerima harta peninggalan anak/orang tua angkatnya atau bahkan menjadi penghalang suatu perkawinan.

B. Keberanjakan  Horizontal
Secara horizontal, keberanjakan pada tingkat prosedur adopsi berbeda-beda pada setiap negara. Dalam hal selisih usia antara anak dengan orang tua angkatnya Somalia  tidak menetapkan “bilangan usia” tertentu, tetapi hanya menyebutkan “layak disebut seorang ayah dihadapan anaknya”. Sebaliknya, Tunisia menyebutkan dengan tegas paling tidak 15 tahun.
Selisih usia ditetapkan sebagai syarat dalam adopsi adalah untuk menjamin niat baik dari pihak yang akan melakukan adopsi. Adopsi hanya boleh dilakukan untuk tujuan menolong pihak teradopsi dan keluarganya, dan bukan untuk tujuan lainnya. Tujuan sosial ini didukung oleh syarat-syarat lain yang ditentukan selanjutnya.

Dalam kaitan dengan syarat-syarat pihak yang akan mengadopsi, Tunisia paling detail mengaturnya, mulai dari seorang yang sudah dewasa, sudah menikah serta memiliki hak sipil secara penuh, berkarakter moral baik, sehat jasmani maupun rohani dan secara finansial mampu memenuhi kebutuhan anak yang diadopsi sampai kepada izin pasangannya untuk melakukan adopsi. Sedangkan Somalia tidak mengaturnya sedemikian detail dan hanya disebutkan “seorang yang telah dewasa”.

Pihak yang diadopsi juga ditentukan dalam UU Somalia dan Tunisia harus masih anak-anak (a minor). Tetapi Tunisia memberi perkecualian bagi anak angkat yang sudah besar apabila memang sejak kecil ia tinggal bersama pihak yang akan mengadopsi.

Tentang pengakuan nasab dari orang tua angkat, baik Somalia maupun Tunisia mengatur dan membolehkan pengakuan nasab terutama terhadap anak angkat yang majhul an-nasab. Indonesia hanya mengakui hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya sebatas pada persoalan nafkah dan biaya pendidikan.

Tentang proses adopsi yang harus melalui pengadilan, tampaknya banyak kesamaan dalam hal ini. Tidak hanya somalia, anak angkat di Indonesia juga harus disahkan di depan sidang pengadilan. Di Turki mungkin juga berlaku hal yang demikian.

Ketentuan-ketentuan di atas menegaskan kembali tentang motivasi sosial sebagai dasar utama dalam pengangkatan anak. Tujuan kemashlahatan bagi anak adopsi ini selanjutnya juga tergambarkan di dalam ketentuan hukum yang berhubungan dengan waris dan perkawinan, sebagaimana dilakukan pembaharuan oleh Tunisia, Somalia, Indonesia dan Turki.

Dari keempat negara yang dibandingkan secara horizontal, ditemukan adanya beberapa kesamaan –juga perbedaan-- dalam pengaturan anak angkat. Berkaitan dengan implikasi terhadap hak kewarisan, hal ini terjadi pada peraturan hukum Islam di Somalia, Tunisia dan Indonesia.  Somalia dan Tunisia menyatakan bahwa anak angkat harus menerima bagian yang sama dengan anak kandung –dalam hak dan kewajiban— terhadap orang tua (angkat) mereka. Sedangkan Indonesia dengan jelas menyatakan bahwa seseorang  bisa menerima harta  anak/orang tua angkatnya dengan jalan wasiat wajibah. Ketentuan hukum Islam mengenai anak angkat di Turki tidak dikaitkan dengan hak waris.

 Pemberian hak kebendaan kepada anak angkat itu jelas merupakan satu cara untuk memberikan keadilan di dalam keluarga angkatnya. Sebab harus diakui, seringkali posisi anak angkat dimarjinalkan semata-mata karena ia bukan kerabatnya ketika terjadi suatu konflik. Situasi demikian tentu sangat merugikan anak angkat itu sendiri, terlebih lagi ketika ia masih berusia anak-anak.

Mengenai implikasi atau pengaruhnya terhadap hukum perkawinan, Turki berbeda dengan tiga negara lainnya. Adopsi di Turki telah dianggap sebagai salah satu sebab penghalang perkawinan, meskipun hal ini kontradisksi dengan pasal lain yang mengatur sebaliknya. Di negara Somalia dan Tunisia adopsi tidak sampai menjadi penghalang perkawinan, meskipun dinyatakan bisa membentuk suatu hubungan kekeluargaan (filiation) di Somalia. Indonesia pada pihak lain sama sekali tidak mengaitkan adopsi ini dengan persoalan perkawinan.

Artikel lain yang terkait:

Asal-usul Pembaruan Hukum Islam
Maksud dan Tujuan Pembaharuan Hukum Islam

Problematika Pembhaharuan Hukum Islam