Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Minggu, 13 Maret 2011

Bukti Eksistensi Hukum Islam Nusantara


Oleh: Cipto Sembodo,MA

Baca tulisan terkait:
Argumen Eksistensi Hukum Islam Nusantara
Berzikir Tingkatkan Kesehatan Syaraf
Melatonin, Rahasia Tidur dalam Gelap
Tahajjud Terapi Kortisol Tingkatkan Sistem Immun
Situs-Situs Beasiswa Gratis



Bukti-bukti eksistensi hukum Islam Nusantara dapat ditemukan pada adanya kerajaan-kerajaan Islam, praktek hukum masyarakat, manuskrip adat yang menyebut hukum Islam, adanya sistem peradilan hingga buku-buku hukum Islam yang dipakai di peradilan Islam.

Sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, tata hukum Islam sudah diterapkan dan dikembangkan. Sultan Malik az-Zahir, –bermadzhab Syafi’iyah-- misalnya, sangat jelas menunjukkan hal itu. Ia adalah Sultan dari kerajaan Samudera Pasai yang terkenal pada pertengahan abad ke-14 M.

Unsur-unsur hukum Islam dapat ditemukan di berbagai naskah dalam hukum-hukum Jawa, seperti Babad Tanah Jawi, Babad Mataram dan Pepakem Cirebon pada abad ke-16 M, hukum-hukum Minangkabau dan hukum-hukum Aceh. Hukum potong tangan, hukum pembunuhan serta hukum berzina dan hukum perkawinan Islam juga ditemukan dalam hukum asli Malaka. Bahkan istilah-istilah yang dipergunakan dalam hukum perkawinan seperti wali, talak dan qabul, berasal dari fiqh Islam.

Ulama-ulama Nusantara abad ke-17 M. dan 18 M. juga telah menuliskan karya-karya hukum Islam sebagai buku (hukum) panduan  masyarakat. Nur ad-Din ar-Raniri menulis kitab Sirat al-Mustaqim pada 1628 M. sebagai kitab pertama yang disebarkan ke seluruh Nusantara. Kitab ini disyarkh oleh Syekh Arsyad al-Banjari dengan judul Sabil al-Muhtadin pada 1779 dan menjadi kitab hukum materiil dalam menyelesaikan sengketa antar umat Islam di Kesultanan Banjar. Selain itu, kitab-kitab hukum Islam mazhab Syafi’i juga banyak dipakai di Indonesia sebagai rujukan dan pedoman masyarakat.

Bentuk awal pelaksanaan penyelesaian perkara-perkara hukum antar umat Islam adalah tahkim. Ini terjadi pada permulaan Islam nusantara, ketika para pemeluk Islam masih hidup dalam lingkungan masyarakat yang belum mengenal agama Islam. Mereka menyelesaikan perselisihan yang muncul dengan bertahkim kepada muballig atau orang-orang yang dianggap berilmu dan mampu meresolusi konflik.

Fungsi tahkim ini diteruskan menjadi lembaga peradilan Islam ketika berdiri kerajaan-kerajaan Islam Nusantara. Dalam konteks inilah dapat dipahami munculnya beragam lembaga pengadilan Islam di berbagai wilayah Nusantara. Di Jawa dikenal Pengadilan Surambi, Mahkamah Syar’iyyah di Kesultanan Islam Sumatra dan Kerapatan Qadi di Kesultanan Banjar dan Pontianak.

Pelaksanaan hukum Islam juga tidak terbatas pada persoalan-persoalan ahwal syahsiyah seperti nikah, talak, ruju‘  waris, wakaf dan wasiat, tetapi mencakup berbagai persoalan perdata lainnya, bahkan pidana Islam. Ketika Sultan Agung memerintah  kerajaan Mataram misalnya, terdapat pengadilan qisas untuk mengadili perkara-perkara yang membahayakan negara. Di Jawa Barat, dalam naskah Slokantara (abad ke-18 M.), diatur perkara-perkara kejahatan menurut fiqh, meskipun dengan kemungkinan dipakainya adat istiadat setempat.

Sampai di sini dapat dilihat bahwa hukum Islam telah berjalan dan diakui eksistensinya di dalam masyarakat di bawah kendali kerajaan-kerajaan Islam saat itu. Namun, pelaksanannya berbeda-beda dari satu tempat ke tempat lainnya. Bobot pengaruh haluan mistik dan kekuatan adat istiadat setempat memang dijumpai. Semua ini merefleksikan telah terasimilasinya hukum Islam dengan adat secara damai (penetration pacifique), melalui proses seleksi metodologis yang terdapat dalam hukum Islam.

Di daerah-daerah yang penerimaan hukum Islamnya kuat dijumpai pengadilan-pengadilan yang menggunakan hukum-hukum Islam, tetapi bentuk dan keadaannya berbeda-beda di seluruh kepulauan. Daniel S. Lev menyebutkan bahwa di Aceh dan Jambi di Sumatra, di Kalimantan Selatan dan Timur dan di Sulawesi Selatan hakim-hakim diangkat oleh para penguasa setempat. Di daerah-daerah lain termasuk bagian-bagian Sulawesi Utara, wilayah-wilayah Sumatra Utara seperti Gayo, Alas dan Tapanuli serta di Sumatra Selatan tidak terdapat pengadilan Islam yang jelas, tetapi pemuka-pemuka agama melakukan tugas-tugas peradilan secara langsung. Sedangkan di Jawa pengadilan Islam telah ada sejak abad ke-16 M di semua Kabupaten.