Download artikel ini
Baca artikel lain terkait:
Problem tekstualitas Studi Hukum Islam
Arah Baru Studi Hukum Islam
Sekulerisasi hukum Islam
Deprivatisasi Syari'ah
Distertasi/Tesis Islamic Studies
Studi hukum Islam terjebak pada kajian tekstual. Metodologi serta produk hukum Islam itu sendiri juga terjebak pada kajian tekstual dan mengalami problem tekstualitas. Ushul al-Fiqh --ilmu yang mendasari studi hukum Islam-- pun mendefinisikan hukum Islam dengan tidak pernah keluar dari “teks“. Upaya keluar dari problem tekstualitas ini adalah dengan interkoneksi studi hukum Islam dengan ilmu-ilmu sosial? Mengapa dan bagaimanakah? Temukan jawabannya dalam pembahasan paragraf-paragraf di bawah nanti. Diskusi sesungguhnya telah penulis tuangkan dalam artikel berjudul ”Interkoneksi Studi Hukum Islam dan Ilmu Sosial”. Tulisan lain yang terkait adalah “Sosiologi Hukum Islam”,
Sesuatu yang diperlukan adalah sebuah upaya mendekatkan, secara epistemologis, dua karakteristik keilmuan Islam dan Barat untuk melahirkan sintesa positif yang diharapkan bermanfaat bagi keduanya, yaitu dapat diterimanya dimensi normatif di dalam analisis sosial keilmuan Barat; sementara bagi ilmu-ilmu keislaman dapat membantu memasukkan fakta-fakta sosial empiris di dalam analisis tekstualnya. Ini adalah satu proses restorasi wahyu dan akal yang harus sampai pada proses metodologis tertentu. Integrasi ini bukanlah suatu percampuran eklektik dari Islam klasik dan Barat modern, tetapi lebih sebagi reorientasi seluruh bidang pengetuhuan kemanusiaan sesuai dengan sejumlah kategori dan kriteria baru atas dasar asumsi-asumsi yang tidak bertentangan dengan Islam.
Apa yang coba diupayakan oleh Louay Safi dalam Towards A Unified Approach to Shari’ah and Sosial Inference, hemat penulis adalah dalam kerangka tersebut di atas. Dalam usulannya, Safi terlebih dahulu menjelaskan bagaimana setiap pengetahuan tidak bisa lepas dari pra-anggapan tertentu atau tidak bebas nilai (value free); bagaimana wahyu juga mengandung suatu “rasionalitas” tertentu dan; bagaimana realitas wahyu dan realitas empiris sama-sama bisa menjadi sumber pengetahuan. Menurutnya, ilmu dan aktifitas ilmiah adalah hasil/ kelanjutan dari ontologi tertentu yang mengaitkan upaya ilmiah dengan individu dan lingkungannya dan melengkapinya dengan dasar motivasional. Sebaliknya, aktivitas ilmiah mengandaikan sejumlah pernyataan tentang sifat eksisten, suatu kebenaran yang harus diakui sebelum terlibat dalam berbagai studi empiris. Oleh sebab itu, memisahkan kebenaran keagamaan (metafisika, wahyu) dari wilayah ilmiah –terutama wilayah ilmu-ilmu sosial-- adalah pendapat yang tidak dapat dibenarkan.
Perlu digasrisbawahi bahwa “ilmu sosial” yang dimaksudkan oleh Safi dalam Towards A Univied Approach to Shari’ah and Sosial Inference, menurut penulis, adalah ilmu sosial kemanusiaan (humaniora) secara umum. Oleh sebab itu, ia tidak hanya terbatas pada ilmu sosiologi saja. Tetapi mencakup pula ilmu sejarah, antropologi, politik dan sebagainya dengan karakternya yang “historis”, empiris. Ini tampak ketika Safi memaparkan kekhasan “ilmu sosial” dihadapan metode-metode kealaman (naturalistic methods).
Lebih jauh upaya Safi telah merumuskan kerangka dan langkah-langkah metodologis bagaimana normativitas (wahyu) dan rasionalitas (empirisitas) itu menjadi mungkin dilakukan dalam suatu analisis integrative. Bagi Safi sendiri hal ini mungkin dilakukan dengan membuat inferensi tekstual dan historis-empiris terlebih dahulu untuk kemudian dibuatkan analisisnya yang bersifat “terpadu” antara keduanya. Kedua inferensi tersebut dilakukan dengan suatu prosedur inferensi.
Upaya penemuan hukum Islam dalam ushul al-fiqh melalui cara berpikir empiris dengan analisis inferensi historis dan tekstual, hemat penulis, merupakan satu capaian intelektual yang perlu diteruskan dalam kerangka interkonesksi dan integrasi dengan ilmu-ilmu social.
Model interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam dan ilmu-ilmu sosial di atas memang sengaja diarahkan pada suatu upaya merekonstruksi suatu pemahaman di dalam wilayah baru yang belum ada teks-teks hukumnya dengan menghargai tradisi secara proporsional sekaligus mengurangi kesan arogansi intelektual-tekstualis. Hal ini dilakukan melalui penggabungan teori system dan teori aksi di dalam perangkat analisisnya. Inilah yang secara substansial harus diakui berbeda dari tawaran pembaruan pemikiran hukum Islam yang diajukan oleh Fazlur Rahman, Muhammad Sahrur dan kawan-kawannya. Meskipun begitu, paradigma pembacaan al-Qur’an yang mendasari kerja keilmuan ini masih menggunakan kategori qath’i dan dzanni –satu kategori yang dalam studi ilmu al-Qur’an sangat controversial.
Pembaruan yang ditawarkan Rahman, Sahrur dan kawan-kawannya, berdasarkan analisis Hallaq, lebih tertuju pada produksi makna baru terhadap teks-teks yang telah ada. Sebaliknya, kurang memberikan mekanisme yang jelas tentang bagaimana bersikap secara metodologis terhadap suatu fenomena yang tidak terdapat teksnya. Inilah yang memberi kesan abstrak dan intelektual oriented, sehingga kurang membumi.
Tentu saja, metode integrasi dalam penemuan hukum Islam mengandaikan konskuensi epistemologis, berupa pengakuan bahwa hukum Islam tidak hanya dapat diderivasi dari sumber tekstual saja, melainkan juga dapat diadaptasi dari realitas sosial-historis empiris. Kajian ushul al-fiqh, dengan demikian tidak saja bersifat sui-generis, tetapi juga cum-empiris.
Menutup essay ini, penulis berpendapat bahwa suatu interkoneksi dan integrasi studi hukum Islam (Ushul al-Fiqh) dan ilmu sosial memang menjadi suatu kebutuhan yang perlu terus ditindaklanjuti. Ini penting agar hukum Islam dapat terus dan kembali bermain dalam regulasi masyarakat di mana proses modernisasi tenngah berjalan begitu sangat cepat meliputi dan merasuksi seluruh bidang garap dan media kehidupan manusia. Wa Allâh A‘lam.
Download Referensi:
Trend Kriminalisasi Reformasi Hukum Keluarga Islam
Studi Sosiologi Hukum Islam
Syari'ah dan Perubahan Sosial