Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Kamis, 24 Maret 2011

Sejarah Kompilasi Hukum Islam Indonesia

Pena Pintar untuk Pesan Rahasia
 Tahukah Anda?

Tidur dalam Terang Beresiko Obesitas
Melatonin, Rahasia Tidur dalam Gelap
Terapi Sholat Tahajjud Sembuhkan Berbagai Penyakit
Jus Kulit Manggis Obat Anti HIV
Kenali dan Hindari Makanan Berpengawet
Profit Emas dari Pembiayaan Haji
Profit Emas dari Mengelola Aset dan Mencicil

Oleh: Cipto Sembodo


Sejarah KHI, atau lahirnya KHI tidak dapat dipisahkan dari latar belakang sejarah dan perkembangan (pemikiran) hukum Islam di Indonesia. Di satu sisi, pembentukan KHI terkait erat dengan usaha-usaha untuk keluar dari situasi dan kondisi internal hukum Islam yang masih diliputi suasana kebekuan intelektual yang akut. Di sisi lain, KHI mencerminkan perkembangan hukum Islam dalam konteks hukum nasional, melepaskan diri dari pengaruh teori receptie, khususnya dalam rangkaian usaha pengembangan Pengadilan Agama.

Dalam sejarah, Hukum Islam di Indonesia memang sejak lama telah berjalan di tengah-tengah masyarakat. Namun harus dicatat bahwa hukum Islam tersebut tidak lain merupakan hukum fiqh hasil interpretasi ulama-ulama abad ke dua hijriyah dan abad-abad sesudahnya. Pelaksanaan hukum Islam sangat diwarnai suasana taqlid serta sikap fanatisme mazhab yang cukup kental. Ini makin diperparah dengan anggapan bahwa fiqh identik dengan Syari’ah atau hukum Islam yang merupakan wahyu aturan Tuhan, sehingga tidak dapat berubah. Umat Islam akhirnya terjebak ke dalam pemahaman yang tumpang tindih antara yang sakral dengan yang profan.

Situasi tersebut berimplikasi negatif terhadap pelaksanaan hukum Islam di lingkungan Peradilan Agama. Pengidentifikasian fiqh  dengan Syari’ah atau hukum Islam sepertiitu telah membawa akibat kekeliruan dalam penerapan hukum Islam yang sangat “keterlaluan”. Dalam menghadapi penyelesaian kasus-kasus perkara di lingkungan peradilan agama, para hakim menoleh kepada kitab-kitab fiqh sebagai rujukan utama. Jadi, putusan pengadilan bukan didasarkan kepada hukum, melainkan doktrin serta pendapat-pendapat mazhab yang telah terdeskripsi di dalam kitab-kitab fiqh.

Akibat dari cara kerja yang demikian, maka lahirlah berbagai produk putusan Pengadilan Agama yang berbeda-beda meskipun menyangkut satu perkara hukum yang sama. Hal ini menjadi semakin rumit dengan adanya beberapa mazhab dalam fiqh itu sendiri, sehingga terjadi pertarungan antar mazhab dalam penerapan hukum Islam di Pengadilan Agama. Jika hakim yang memeriksa dan memutus perkara kebetulan berlatar belakang mazhab Hanbali, maka dalil dan dasar hukum yang diterapkan sangat diwarnai oleh ajaran mazhab Hanbali. Sebaliknya, apabila hakim yang mengadili berlatar belakang  mazhab Syafi’i, putusan yang dijatuhkan pun didominasi landasan mazhab Syafi’i.

Pertarungan antar mazhab di atas menjadi sangat kentara ditemukan dalam kasus-kasus perkara yang mengalami proses pemeriksaan banding. Akan terlihat persepsi dan penilaian yang sangat berbeda antara putusan pengadilan tingkat pertama (PA) dengan pengadilan tingkat banding (PTA); apabila hakim yang memutus perkara pada tingkat pertama berlainan latar belakang mazhab dengan hakim yang memutus perkara pada tingkat banding.

Proses penerapan hukum Islam yang simpang-siur tersebut di atas tentu saja tidak dapat dibenarkan dalam praktek peradilan modern, karena menimbulkan ketidakpastian hukum dalam masyarakat. Menjadikan kitab-kitab fiqh sebagai rujukan hukum materiil pada pengadilan agama juga telah menimbulkan keruwetan lain. Menurut Bustanul Arifin, hal itu telah membuka peluang pembangkangan atau setidaknya keluhan pihak yang kalah dengan mempertanyakan kitab atau pendapat yang dipakai seraya menunjuk kitab atau pendapat lain yang menawarkan penyelesaian berbeda.

Usaha-usaha untuk mengarahkan kepastian dan kesatuan dalam penerapan hukum Islan di Indonesia sesungguhnya telah lama dilakukan. pada zaman V.O.C., misalnya, diadakan Compedium Freijer untuk daerah Batavia serta kumpulan-kumpulan  hukum perkawinan dan kewarisan Islam untuk daerah Cirebon, Semarang dan Makassar.

Setelah Indonesia merdeka, ditetapkanlah 13 kitab fiqh sebagai referensi hukum materiil di pengadilan agama melalui Surat Edaran Kepada Biro Peradilan Agama RI. No. B/1/735 tanggal 18 Februari 1958. Hal ini dilakukan karena hukum Islam yang berlaku di tengah-tengah masyarakat ternyata tidak tertulis dan berserakan di berbagai kitab fiqh yang berbeda-beda.

Akan tetapi penetapan kitab-kitab fiqh tersebut juga tidak berhasil menjamin kepastian dan kesatuan hukum di pengadilan agama. Berbagai hal dan situasi hukum Islam itulah yang mendorong dilakukannya kompilasi terhadap hukum Islam di Indonesia untuk menjamin kepastian dan kesatuan penerapan hukum Islam di Indonesia.

Politik Hukum Islam
Klik sampul bukunya


Baca artikel terkait:

Sekilas Hukum Perkawinan Nasional
Situs Pustaka Gratis dan Dana Riset


Info Perpustakaan Online dan Dana Penelitian
Klik di sini!!

Kumpulan Artikel Kesehatan Populer