Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Kamis, 24 Maret 2011

Sekilas Hukum Perkawinan Nasional

Oleh: Cipto Sembodo

Baca:
Sejarah Lahirnya Kompilasi Hukum Islam
Situs Pustaka Gratis dan Dana Riset


Setelah Indonesia merdeka, bagaimana perkawinan diatur? Sejak awal disadari dan dirasakan kebutuhan akan adanya undang-undang perkawinan, sebuah undang-undang yang mengatur soal perkawinan yang sesuai dengan cita-cita dan aspirasi bangsa Indonesia, sebuah undang-undang perkawinan nasional yang mengatur dan memperlakukan warga negara secara sama, adil di muka hukum. Bangsa Indonesia tidak lagi menghendaki diatur berdasarkan golongan ras dan kebudayaannya sebagaimana terjadi pada zaman penjajahan Belanda.

Namun demikian, sejauh berkaitan dengan hukum perkawinan, ternyata dapat dikatakan hanya ada 2 (dua) peraturan dalam bentuk undang-undang yang berhasil diwujudkan bangsa Indonesia sejak merdeka tahun 1945. Pertama, segera setelah proklamasi kemerdekaan 1945, keluarlah Undang-undang No. 2 tahun 1946. Sedangkan kedua, Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan disetujui DPR era Orde Baru.

Dari pasal-pasal yang ada, UU No. 2 1946 hanya mengatur tentang pencatatan perkawinan,talak dan rujuk. Secara eksplisit tidak ditemukan bab atau pasal yang membahas mengenai perkawinan itu sendiri. Oleh sebab itu, dapat dikatakan Undang-undang ini hanya mengatur hukum acara perkawinan, bukan hukum materi perkawinan.

Tambahan lagi, undang-undang No. 2 tahun 1946 ini pun tidak efektif pelaksanaannya. Ini disebabkan masih berkecamuknya perang kemerdekaan. UU ini pertama-tama hanya berlaku untuk Jawa dan Madura, yaitu mulai 1 Februari 1947. Baru sesudah tahun 1954, UU No. 2 tahun 1946 ini diberlakukan secara menyeluruh di Indonesia melalui undang-undang no. 32 tahun 1954.

Tidak efektifnya undang-undang no. 2 tahun 1946 ini mendorong banyak pihak menyampaikan aspirasi dan tuntutan kepada pemerintah untuk menyusun undang-undang perkawinan.Dalam rangka itulah maka sejak awal kemerdekaan, sudah dimulai upaya-upaya penyusunan Undang-undang Perkawinan oleh pemerintah. Demikian juga, berbagai elemen masyarakat telah menyampaikan aspirasi,ide-ide bahkan tuntutannya mengenai pentingnya undang-undang perkawinan.

Diantara tuntutan perlunya undang-undang tentang perkawinan itu antara lain adalah karena tingginya angka perceraian di masyarakat. Ini hanya data yang tercatat dari perkara cerai di pengadilan. Di luar data itu, diduga masih banyak terjadi juga kasus yang serupa.

Selain itu, masih berjalan tradisi masyarakat yang tidak sesuai dengan tujuan perkawinan itu sendiri. Kasus-kasus perkawinan anak-anak, misalnya masing sering terdengar. Begitu juga kawin paksa dan perceraian sepihak oleh laki-laki. Poligami dan soal pencatatan perkawinan juga merupakan isu yang mendorong tuntutan berbagai elemen masyarakat ketika itu, terlepas dari kontroversi yang selalu mengiringinya.

Dalam rangka memenuhi aspirasi, kebutuhan dan tuntutan itulah lahir undang-undang kedua yang mengatur perkawinan nasional. Undang-undang dimaksud adalah adalah Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan. UU ini berhasil disahkan dan disetujui DPR pada era Orde Baru. Artinya, bangsa Indonesia butuh waktu 28 tahun untuk mewujudkan sebuah Undang-undang Perkawinan Nasional.

Namun jika dilihat dari sekilas sejarah dan proses kelahirannya di atas, UU ini adalah sebuah prestasi. Setelah 28 tahun menanti dan berkali-kali gagal menyusun UU Perkawinan, bangsa Indonesia akhirnya berhasil mewujudkan sebuah Undang-undang perkawinan melalui perdebatan panjang, kontroversi, hingga kontestasi politik di puncak kekuasaan.

Bagi hukum Islam, undang-undang perkawinan ini adalah kabar baik. Sebab undang-undang ini memberikan kewenangan perkara kekeluargaan orang-orang Islam kepada Peradilan Agama. Ini berarti memberikan legitimasi baru eksistensi Peradilan Agama, meskipun masih dijumpai pasal “aneh” yang mengharuskan “fiat eksekusi” putusan PA kepada PN (Pasal 63 ayat 2).

Kewenangan mengadili perkara sengketa keluarga telah diberikan kepada PA. Tetapi, PA sendiri belum memiliki buku hukum yang seragam sebagai rujukan memutuskan perkara keluarga Muslim. Sengketa perkawinan yang diajukan ke PA masih diadili dengan “pendapat”fiqh yang berbeda-beda itu. Akibatnya, terjadi “pertarungan” antar madzhab fiqh. Jadi, kekurangan inilah salah satu hal yang pada gilirannya nanti mendorong dilahirkannya Kompilasi Hukum Islam.

Sayangnya, keberhasilan UU No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan ini tidak diikuti oleh lahirnya undang-undang tentang Kewarisan Nasional. Jika dalam soal perkawinan telah ada satu undang-undang yang berlaku secara nasional untuk seluruh penduduk Indonesia, maka tidak demikian halnya dalam hukum waris.

Mengenai soal waris, di Indonesia masih berlaku beberapa peraturan tentang kewarisan yang dijalankan oleh kelompok-kelompok tertentu di lingkungan badan peradilan yang berbeda-beda,yaitu:
1.Hukum waris-adat asli Indonesia. Hukum ini berlaku bagi orang asli Indonesia yang
belum dipengaruhi hukum Islam
2.Hukum waris-Islam. Hukum Islam berlaku bagi orang-orang Muslim Indonesia
3.Hukum waris BW bagi orang-orang Eropa.