Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Sabtu, 26 Juni 2010

“SEKULERISASI HUKUM ISLAM“ ANALISIS PEMBAHARUAN HUKUM ANAK ANGKAT DI NEGARA-NEGARA MUSLIM

Oleh: Cipto Sembodo

Artikel yang terkait:

Status Anak Angkat di Negara-negara Muslim
Problem Tekstualitas Studi Hukum Islam
Download Artikel Ini


Artikel ini mengetengahkan isu-isu sekulerisasi hukum Islam yang muncul dalam proses pembaharuan hukum anak angkat/adopsi di negera-negara Muslim. Fokus bahasannya diarahkan pada studi perbandingan mengenai status anak angkat di Somalia, Tunisia, Turki dan Indonesia—empat negara yang dalam sistem hukumnya ditemukan pembaharuan cukup berarti berkait dengan status anak angkat/adopsi. Studi ini menemukan bahwa proses pembaharuan hukum adopsi/anak angkat berjalan dihimpit dengan beragam issu sekulerisasi hukum Islam. Namun proses itu juga mencatat sejumlah pembaharuan atau keberanjakan signifikan baik secara vertikal terhadap doktrin-doktrin fiqh madzhab maupun secara horizontal diantara sesama empat negara-negara Muslim tersebut.

A. Pembaharuan Hukum Adopsi/Anak Angkat
Sebagaimana disebutkan pada posting sebelumnya, keberanjakan vertikal yang paling signifikan tentang status anak angkat adalah pengaruhnya terhadap ketetapan hukum yang berhubungan dengan waris dan perkawinan. Mempengaruhi hukum waris,  Tunisia tampaknya melangkah paling depan dengan menyatakan bahwa anak angkat harus memperoleh bagian yang sama dibandingkan dengan anak kandung –dalam hak dan kewajiban--  terhadap orang tua (angkat) mereka. Meskipun tidak ditemukan pasal lain yang menjelaskan pembagian waris terhadap anak angkat, tetapi jika hal ini benar, maka jelas merupakan suatu keberanjakan yang sangat liberal dihadapan doktin fiqh. Karena berarti membolehkan apa yang dilarang dalam nash. Sampai batas tertentu, hal seperti ini juga sedikit kelihatan di Somalia.

Indonesia bisa diperbandingkan dengan kedua negara tersebut. Satu langkah lebih maju, Indonesia bahkan telah membuat cara, hilah  (?) yang sama sekali baru untuk memberi hak mendapatkan harta almarhum (baca: harta waris) bagi anak/orang tua angkat dengan jalan wasiat wajibah. Ini memang dilakukan dengan cara yang tidak menyalahi aturan pembagian waris biasa, karena anak/orang tua angkat tidak dimasukkan ke dalam ahli waris dzawil furud. Tetapi meskipun namanya wasiat wajibah, kenyataannya hal itu berarti memberi hak kebendaan (warisan) bagi anak atau orang tua angkat.

Berbeda dengan itu, implikasinya dalam perkawinan tidak banyak yang mengatur. Turki-lah yang membuat pembaharuan paling jauh, karena menganggap anak angkat sebagai penghalang perkawinan. Dihadapan doktrin fiqh, ketetapan demikian jelas berbeda, bahkan mungkin bersifat “menantang” terhadap kemapanan yang dilegitimasi ayat-ayat al-Qur’an. Negara-negara muslim lainya, khususnya Indonesia, tidak menghubungkan persoalan anak angkat atau adopsi dengan hukum perkawinan. Somalia sekilas menyebut bahwa adopsi menyebabkan hubungan keluarga, tetapi hanya berhenti sampai di sini. Tunisia justru menyatakan bahwa anak hasil adopsi masih tetap terhalang perkawinannya dengan keluarga aslinya. Hal terakhir ini justru sesuai dengan ketentuan fiqh klasik, sebagaimana didukung oleh nash.

Fenomena keberanjakan juga terjadi dalam prosedur atau tata cara adopsi. Sekali lagi Tunisia berada paling depan dengan memberikan ketentuan begitu detail tentang syarat-syarat pihak  pengadopsi, kriteria anak yang akan diadopsi, selisih usia antara keduanya, dan izin dari pasangannya serta harus dilakukan di pengadilan. Dalam prosedur adopsi, Somalia, Indonesia dan Turki berada dibelakangnya. Sebagian prosedur itu adalah sesuatu yang belum pernah didapati di dalam ketetapan fiqh. Tentang pengakuan nasab anak hasil adopsi, Somalia dan Tunisia menyatakan bahwa untuk anak yang majhul an-nasab, hal itu dihubungkan kepada orang tua angkatnya. Sementara Indonesia hanya menyatakan bahwa hubungan anak angkat dengan orang tua angkatnya sebatas pemeliharaan hidup sehari-hari dan biaya pendidikan. Dibandingkan dengan fiqh madzhab, hal ini tidak banyak berbeda. Sedangkan Turki tidak ditemukan keterangan menganai hal ini.

B. Metode Pembaharuan
Somalia melakukan pembaharuan hukum Islam tentang anak angkat melalui metode extra-doktrinal dan intra-doctrinal sekaligus. Yang pertama dapat dilihat ketika Somalia membuat ketetapan yang diambil dari entitas luar, terutama ideologi sosialis, sehingga menghasilkan ketetapan yang berbeda dengan fiqh dalam hak kewarisan. Yang kedua tampak pada upayanya membuat prosedur adopsi yang dikembangkan dari ketentuan fiqh —terutama madzhab Hanafi-- seperti sudah dewasa, selisih umur yang signifikan dan melalui pengadilan. Ketentuan baru ini kemudian diterapkan melalui undang-undang yang bersifat regulatory.

Metode extra dan intra doctrinal reform serupa juga diterapkan di Tunisia. Perbedaannya hanya terletak pada entitas luar yang mempengaruhinya. Di Tunisia, pembagahuan hukum didasarkan kepada penafsiran liberal terhadap Syari’ah Islam serta upaya-upaya modernisasi yang cepat. Hasilnya, sebagaimana dapat dilihat, adalah sampai batas-batas tertentu sangat liberal, seperti dalam implikasinya terhadap kewarisan. Sebaliknya, terhadap prosedur adopsi digunakan metode intra-doctrinal yang –memang berbeda— tetapi pada dasarnya justru menegaskan doktrin fiqh.

Demikian pula Turki, bisa diduga memakai extra-docrinal reform dalam upaya pembaharuannya. Ini tampak ketika mengadopsi berbagai hukum Eropa (Code Sivil Swiss) yang kemudian banyak berpengaruh terhadap ketentuan-ketentuan hukum Islam. Dengan jelas, hal muncul dalam ketentuan yang menyatakan bahwa adopsi menjadi salah satu penghalang perkawinan.

Indonesia lebih dominan dan canggih memanfaatkan intra-doctrinal reform terhadap ketentuan fiqh madzhab Syafi’i. Memang semangatnya –bahwa anak/orang tua angkat bisa saling mewarisi— diambil dari adat. Tetapi Keberadaan anak angkat tetap ditempatkan pada posisinya semula, tidak diakui sebagai nasab orang tua angkatnya, juga tidak menjadi ahli waris dzawil furud. Menjembatani kesenjangan ini ditempuhlah cara baru yang bisa meng-kompromikan keduanya –tidak melanggar cara pembagian waris Islam dan memberi kemungkinan  hak kebendaan. Cara inilah yang diistilahkan sebagai wasiat wajibah. Inilah “ijtihad paling baru” dalam bidang kewarisan dari ulama-ulama Indonesia.