Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Rabu, 04 Mei 2011

NII, Devolusi Negara Islam

Mengapa NII (negara Islam Indonesia) itu devolusi negara Islam?. Seperti akan diuraiakan nanti, NII tidak menunjukkan kemajuan apa-apa dikaitkan dengan pengembangan praktek bernegara Islam dan teori negara Islam. Jika harus diapresiasi, maka NII (negara Islam Indonesia) tempatkanlah sebagai ijtihad politik Islam penggagasnya SM. Kartosoewirjo. Tetapi kemunculannya/ dimunculkannya yang “begitu-begitu” saja membuktikan apa yang disebut Asghar Ali Engineer “devolusi negara Islam” dalam konteks lokal nasional sekalipun. Satu hal yang patut dikhawatirkan, jika NII muncul kembali dengan deviasi politik, untuk kepentingan sesaat dengan atau melalui deviasi syari’ah. Ciri otentik deviasi  Syari’ah adalah “mengklaim diri/kelompoknya paling benar” sembari menyatakan  yang lain salah.

Ijtihad Politik Islam SM. Kartosoewirjo
Agar tidak terjebak pada deviasi Syari'ah dan deviasi politik, NII (negara Islam Indonesia) tempatkanlah NII (negara Islam Indonesia) sebagai Ijtihad Politik Islam SM. Kartosoewirjo. Sebagai ijtihad, tentu bisa salah dan mungkin juga benar. Hilanglah truth claim yang menyimpang dari Syari'ah (deviasi Syari'ah). Sebagai ijtihad pula, berarti penghargaan kepada anak bangsa yang memberikan kontribusi pemikiran dan kritik terhadap praktek bernegara.

Fakta politik, NII (negara Islam Indonesia) adalah respon penggagasnya, SM. Kartosoewirjo terhadap politik Soekarno segera sesudah kemerdekaan RI. NII (negara Islam Indonesia) jelas merupakan sikap politik SM. Kartosoewirjo terhadap zamannya. NII (negara Islam Indonesia) adalah produk demokrasi awal kemerdekaan Indonesia. Ia lahir sebagai bagian dari proses bangsa Indonesia belajar bernegara.

Sebagai ijtihad politik Islam, NII (negara Islam Indonesia) tidak bisa lepas dari pemahaman-Islam dan intelektualitas penggagasnya. Di sini dapat ditemukan konsep-konsep seperti “hijrah” dan yang tak pernah ketinggalan “ jihad fi sabilillah”. Semuanya dengan interpretasi hingga dalil-dalilnya masing-masing.

Sedemikian jauh ijtihad politik islam itu dilakukan. Namun demikian, NII bahkan tidak bisa lepas dari zamannya dan sifat lokalnya dalam wilayah nasional Indonesia. Jadi katakanlah NII adalah ijtihad politik Islam lokal. NII terbatasi oleh geopolitik Nusantara. Maka tak heran dalam Qanun Asasi NII ditemukan “sistem pemerintahan federal”,  imamnya harus orang Indonesia asli, identitas “Bendera merah putih berbulan bintang” dan “bahasa Indonesia” sebagai resmi. Itu bukti otentik lokalitas, kontekstualitas NII (negara Islam Indonesia),sebuah ijtihad politik Islam di awal kemerdekaan Indonesia.

Devolusi Negara Islam
Ada banyak sisi tentang NII. Lepas dari sejarah versi pemerintah atau versi internal NII, naik beritanya NII (negara Islam Indonesia) menunjukkan devolusi negara Islam. NII (negara Islam Indonesia) tidak membawa apa-apa bagi pengembangan teori negara Islam. Konsep negaranya, jika ada, ya itu-itu saja, berdasarkan al-Qur’an dan hadis sahih, bai’at, majlis syura, dewan imamah. Justru bentuk negaranya dikatan jumhuriyah (republic) dan system pemerintahannya federal. Jika boleh dikatakan baru, justru ini barang kali yang baru. Sebab dua hal ini Adalah adopsi dari pemikiran Barat.

Tidak pernah tertinggal dari wacana Negara Islam adalah pasal berlakunya syari’at Islam di dalam kalangan kaum Muslimin dan keleluasaan kepada pemeluk agama lainnya, di dalam melakukan ibadahnya. Sayangnya, pemberlakuan Syari’at islam ini tampak sekali masih parsial. Syari’at Islam diterjemahkan sebatas hukum potong tangan dan rajam bagi pezina dan berjilbab atau cadar bagi yang wanita sebagaimana dalam KUHP (Kitab Undang-undang Hukum Pidana).

Sebaliknya, persoalan distribusi ekonomi, kebutuhan kehidupan masyarakat sehari-hari, lapangan kerja tak pernah disinggung dan dibahas. Padahal inilah kebutuhan real masyarakat yang harus dipenuhi negara. Dan, soal-soal ekonomi, mata pencaharian, distribusi kesejahteraan, disparitas kaya dan miskin hingga soal borjuasi dan kapitalisme semuanya sangat terkait dengan struktur social.

Solusi terhadap persoalan-persoalan tersebut jika mencontoh Nabi, adalah secara gradual, simpatik dengan pendekatan kultural. Bukan radikal dan formal. Hal inilah yang mendorong Nabi  terlibat dalam dunia perdagangan hingga mempertemukannya dengan Siti Khadijah. Nilai-nilai keislaman ditransformasikan secara perlahan-lahan dalam setiap celah-celah tradisi yang sejalan.

Dakwah yang dilakukan adalah merubah struktur sosial masyarakat Mekkah dengan strategi yang sangat sosialistis tanpa terjebak ke dalam sosialisme. Dari orang per-orang, komunitas hingga melahirkan suatu gerakan sosial yang menggerahkan penguasa Mekkah ketika itu yang terdiri dari pemimpin-pemimpin suku.

NII atau apapun namanya yang mengusung Islam sebagai identitas atau ideology negara, jika tidak memberikan solusi yang smart bagi problem kemanusiaan era mondial ini, niscaya hanya berujung pada Devolusi Negara Islam. Masih beruntung jika tidak ditunggangi kepentingan kekuasaan dan sesaat. Perspektif Islam memang integrated antara din dan daulah. Tetapi demi kekuasaan banyak orang melakukan deviasi politik bahkan deviasi Syari’ah yang berbahaya untuk meraihnya.


Baca juga artikel berikut:

Praktek dan Teori Bernegara Islam
Deprivatisasi Syari'ah
Cokroaminoto Penggagas Nasionalisme Indonesia
Hibah Penelitian Beasiswa

Tahukan Anda?
Do'a Apa yang Mampu Rubah Hidup Anda?
Obesitas, Resiko Tidur dengan Cahaya Terang
Tahajjud adalah Terapi Kortisol untuk Sistem Immunitas