Subscribe

RSS Feed (xml)

Powered By

Skin Design:
Free Blogger Skins

Powered by Blogger

Toko Buku Online

Minggu, 14 Februari 2010

"Publik Syari'ah" Teknologi&Etika Sosial untuk Semua

Oleh CIpto Sembodo
Ngenes banget, prihatin. Pagi-pagi sudah ditontonin kasus "miris" lagi "memilukan". Lagi dan lagi, teknologi jadi media jual beli manusia, bahkan kini calon manusia, janin yang masih dalam kandungan. Miris lagi memilukan, sebab yang melakukannya tidak lain adalah ibu kandungnya sendiri, wah-wah, muslimah lagi berjilbab. Apapun alasannya, akal dan perasaan saya tidak ko' bisa menerimanya.
Kemiskinan juga lagi dan kembali --katanya-- jadi penyebab semua itu.. Miskin materialkah? atau miskin mental? akal sehat? agama? hati nurani? Nabi Muhammad diriwayatkan pernah berkata kaada al-faqru an yakuuna kufran Bagi saya kata-kata ini dalam maknanya dan luas jangkauannya...Miskin, faqir jelas-jelas tidak cukup dan bukan hanya material. Tapi dalam kasus di atas adalah juga fakir miskin mental..jangakauannya juga luas, seluas implikasi yang ditimbulkan kasus itu pada etika syari'ah, pada penggunaan teknologi canggih dan pada pemimpin agama, cerdik pandai dan tak lupa pada penyelenggara negeri ini.
Etika Syari'ah yang memanusiakan manusia yang hebat itu, para penyelenggara negara yang kaya raya itu, para pemuka agama yang pintar itu, para cerdik-pandai yang berwacana ndakik2 itu dan pula teknologi yang canggih itu, "runtuh" dihadapkan pada kemiskinan...
"Publik Syari'ah". Mungkin kita lalu ingat pada "Publik Religion"-nya Casanova. Saya kira itu baik, asal memang dimaknai sebagaimana proporsi-seharusnya. Jika misinya adalah memanusiakan manusia, ramah atas pluralitas dan seterusnya, rahmatan lil'alamin semestinya, publik syari'ah yang pernah jadi solusi problem etis atas jahiliyah arabia berabad lalu itu bisa diambil pelajarannya untuk semua orang, semua entitas teknologi di zaman kini. Tapi bagaimana ya Syari'ah itu menyahuti perkembangan sangat cepat itu? Sebab cara berpikir yang melandasi--orang bilang paradigma-- formulasinya saja masih menolak kebaikan rasional, masih tidak mau mengambil pelajaran dari luar teks sebagai nilai otoritatif, dan lalu kajian berikut metodologinya juga tekstual? Yah, lain kali kita teruskan dengan yang lebih baik.
Artikel yang mungkin terkait
Tekstualitas Syari'ah
Studi Sosiologi Hukum Islam
Reformasi Hukum Anak Angkat